halaman

Jumat, 25 Februari 2011

Korupsi yang terjadi di bidang pajak.

Pola korupsi
Dalm penmungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah tidak bias di pungkiri lagi terjadi adanya praktek korupsi. Praktek korupsi yang kian menghawatirkan, dan semakin terbuka. Adanya pola-pola korupsi yang dilakukan oleh sejumlah pihak dalm pemungutan pajak.
Pola pertama, transaktif-nepotis di personalia, terutama dalam penempatan pegawai pajak. Disebut korupsi transaktif, karena ia menguntungkan pegawai pajak dan personalia. Ada transaksi dalam korupsi. Personalia mendapat uang suap, sedangkan pegawai mengincar Kantor Pajak yang basah atau menghindari penempatan di daerah terpencil.
Pola ini juga menjadi mekanisme untuk mempertahankan budaya korupsi di perpajakan. Pegawai baru di Direktorat Jenderal Pajak akan berhadapan dengan tradisi seperti ini. Mereka akan dihadapkan pada dua pilihan: ikut dalam praktek korupsi atau tetap lurus. Menjadi jujur tidak jadi masalah, sepanjang mereka tidak bicara. Kalau sampai ada yang membongkar praktek korupsi, pegawai yang jujur ini bisa dimutasi ke daerah terpencil.
Pola kedua, autogenik-ekstortif dalam administrasi pajak. Autogenik merujuk pada korupsi yang dilakukan petugas pajak mengikuti kewenangan yang ada padanya. Ekstortif merujuk pada praktek pemerasan.
Pola ini menggambarkan bagaimana petugas pajak meminta imbalan jasa untuk pengurusan administrasi perpajakan. Sekadar contoh, untuk mengurus nomor pokok wajib pajak (NPWP) membutuhkan waktu tiga minggu. Dengan memberikan uang pelicin kepada petugas pajak, proses tersebut bisa dipersingkat.
Pola ketiga, transaktif-autogenik dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktek korupsi di pajak berjalan saling menguntungkan, baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak bisa mendapat pengurangan dari kewajiban yang seharusnya. Sementara itu, petugas pajak mendapat komisi atas pengurangan kewajiban tersebut.
Dalam beberapa kasus, kadang kala negosiasi pajak dilakukan secara ekstortif. Dalam hal ini, wajib pajak diperas oleh petugas pajak dengan memberikan tagihan yang amat besar. Lalu tagihan itu bisa diturunkan sesuai kesepakatan dengan imbalan uang kepada petugas.
Pola ketiga ini yang diungkapkan oleh Kwik Kian Gie ataupun Faisal Basri. Menggunakan estimasi ekonomi, kedua pengamat ekonomi itu memperkirakan negosiasi pajak merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Membongkar korupsi
Pola korupsi transaktif yang saling menguntungkan di sektor pajak sulit dibongkar, kecuali pembuktian terbalik diterapkan sepenuhnya. Sayangnya, perangkat hukum kita belum mengadopsi sistem pembuktian terbalik. UU No. 31/1999 juncto UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya menerapkan pembuktian terbalik secara terbatas.
Pembuktian terbalik menjadi hak terdakwa dalam pengadilan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Beban pembuktian masih ada pada kejaksaan sebagai penuntut umum. Karena itu, usulan menerapkan pembuktian terbalik sulit dilakukan karena harus mengubah UU Antikorupsi terlebih dulu.

Salah satu terobosan yang bisa dipergunakan adalah memberikan perlindungan terhadap saksi. Memang, UU Perlindungan Saksi belum disahkan. Tetapi Direktur Jenderal Pajak bisa membuat terobosan. Ia bisa memberikan perlindungan kepada pelapor yang bisa memberikan informasi petugas pajak yang nakal. Atas informasinya, wajib pajak tidak akan mendapat sanksi, baik pidana maupun denda.

Peran UU Pajak sebagai upaya Pemberantasan korupsi dalam bidang  Pajak

Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), UU KUP, setiap orang pribadi yang tinggal di Indonesia adalah subjek pajak (orang pribadi) dalam negeri. Seorang subjek pajak dalam negeri akan menjadi wajib pajak apabila memperoleh penghasilan melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang PPh.
Sebagai wajib pajak, seseorang punya hak dan kewajiban. Saat seseorang sudah memenuhi syarat sebagai wajib pajak, maka wajib pajak mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Apabila tidak mendaftarkan diri, UU KUP memberi sanksi yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1). Ketentuan itu mengatur wajib pajak melanggar kewajiban perpajakannya, antara lain : tidak mendaftarkan diri; tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar; dan menolak dilakukan pemeriksaan; dsb.
Jika wajib pajak melanggar kewajibannya dan hal itu menimbulkan kerugian negara, maka yang bersangkutan akan dipidana paling lama 6 tahun penjara dan denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak yang terutang.
Dalam hal seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, statusnya sudah ditingkatkan menjadi tersangka, pada tahapan inilah Ditjen Pajak dapat mulai melakukan penelitian dan pengumpulan data yang menyangkut orang tersebut.
Langkah-langkah untuk menjerat tersangka korupsi dari sudut pandang pidana fiskal, perlu koordinasi dengan instansi lain yang menangani masalah ini, seperti misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kejaksaan Agung.
Tujuan dari langkah Ditjen Pajak ikut menangani hal ini adalah semata-mata untuk mengamankan penerimaan negara dari pajak dan untuk memberikan bahan tambahan kepada penyidik, sehingga tersangka pelaku didakwa dengan dakwaan berlapis, yaitu melakukan tindak pidana fiskal sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU KUP.
Hal ini merupakan langkah untuk mengantisipasi seandainya pengadilan memberi putusan bebas kepada terdakwa. Keputusan ini mungkin saja benar dan dalam hal demikian masih ada satu dakwaan lagi berupa tindak pidana fiskal yang kemungkinan besar tidak akan lolos.
Untuk mencapai tujuan itu, perlu ditempuh langkah persiapan, yang salah satunya adalah menjajaki kemungkinan ini dengan instansi terkait, yang menangani masalah korupsi. Ini tidak mudah karena masuknya Ditjen Pajak dapat dianggap merecoki kerjanya. Untuk itu, perlu pendekatan tingkat atas agar tujuan dapat dicapai.
Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data dalam kasus tindak pidana fiskal. Sumber data itu diperoleh dari beberapa sumber data antara lain dari berkas yang disusun oleh penyidik dalam menyiapkan bukti-bukti. Hal ini bisa terkendala karena penyidik tidak bersedia membagi informasinya.
Tidak berlebihan apabila tuntutan tindak pidana fiskal erat berhubungan dengan perundangan di bidang perpajakan. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan penuntut umum yang menguasai perundang-undangan tersebut, misalnya dengan memberikan pelatihan kepada para penuntu umum dan para hakim.
Dari sisi Ditjen Pajak, perlu dibentuk tim khusus menangani kasus-kasus korupsi. Seperti diketahui Ditjen Pajak telah lama menyiapkan tenaga-tenaga penyidik sehingga pembentukan tim ini tidak akan menjadi masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar