halaman

Jumat, 25 Februari 2011

Korupsi yang terjadi di bidang pajak.

Pola korupsi
Dalm penmungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah tidak bias di pungkiri lagi terjadi adanya praktek korupsi. Praktek korupsi yang kian menghawatirkan, dan semakin terbuka. Adanya pola-pola korupsi yang dilakukan oleh sejumlah pihak dalm pemungutan pajak.
Pola pertama, transaktif-nepotis di personalia, terutama dalam penempatan pegawai pajak. Disebut korupsi transaktif, karena ia menguntungkan pegawai pajak dan personalia. Ada transaksi dalam korupsi. Personalia mendapat uang suap, sedangkan pegawai mengincar Kantor Pajak yang basah atau menghindari penempatan di daerah terpencil.
Pola ini juga menjadi mekanisme untuk mempertahankan budaya korupsi di perpajakan. Pegawai baru di Direktorat Jenderal Pajak akan berhadapan dengan tradisi seperti ini. Mereka akan dihadapkan pada dua pilihan: ikut dalam praktek korupsi atau tetap lurus. Menjadi jujur tidak jadi masalah, sepanjang mereka tidak bicara. Kalau sampai ada yang membongkar praktek korupsi, pegawai yang jujur ini bisa dimutasi ke daerah terpencil.
Pola kedua, autogenik-ekstortif dalam administrasi pajak. Autogenik merujuk pada korupsi yang dilakukan petugas pajak mengikuti kewenangan yang ada padanya. Ekstortif merujuk pada praktek pemerasan.
Pola ini menggambarkan bagaimana petugas pajak meminta imbalan jasa untuk pengurusan administrasi perpajakan. Sekadar contoh, untuk mengurus nomor pokok wajib pajak (NPWP) membutuhkan waktu tiga minggu. Dengan memberikan uang pelicin kepada petugas pajak, proses tersebut bisa dipersingkat.
Pola ketiga, transaktif-autogenik dalam bentuk negosiasi pajak. Pola ini menunjukkan bagaimana praktek korupsi di pajak berjalan saling menguntungkan, baik bagi wajib pajak maupun petugas pajak. Wajib pajak bisa mendapat pengurangan dari kewajiban yang seharusnya. Sementara itu, petugas pajak mendapat komisi atas pengurangan kewajiban tersebut.
Dalam beberapa kasus, kadang kala negosiasi pajak dilakukan secara ekstortif. Dalam hal ini, wajib pajak diperas oleh petugas pajak dengan memberikan tagihan yang amat besar. Lalu tagihan itu bisa diturunkan sesuai kesepakatan dengan imbalan uang kepada petugas.
Pola ketiga ini yang diungkapkan oleh Kwik Kian Gie ataupun Faisal Basri. Menggunakan estimasi ekonomi, kedua pengamat ekonomi itu memperkirakan negosiasi pajak merugikan negara hingga triliunan rupiah.
Membongkar korupsi
Pola korupsi transaktif yang saling menguntungkan di sektor pajak sulit dibongkar, kecuali pembuktian terbalik diterapkan sepenuhnya. Sayangnya, perangkat hukum kita belum mengadopsi sistem pembuktian terbalik. UU No. 31/1999 juncto UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya menerapkan pembuktian terbalik secara terbatas.
Pembuktian terbalik menjadi hak terdakwa dalam pengadilan untuk membuktikan dirinya tidak bersalah. Beban pembuktian masih ada pada kejaksaan sebagai penuntut umum. Karena itu, usulan menerapkan pembuktian terbalik sulit dilakukan karena harus mengubah UU Antikorupsi terlebih dulu.

Salah satu terobosan yang bisa dipergunakan adalah memberikan perlindungan terhadap saksi. Memang, UU Perlindungan Saksi belum disahkan. Tetapi Direktur Jenderal Pajak bisa membuat terobosan. Ia bisa memberikan perlindungan kepada pelapor yang bisa memberikan informasi petugas pajak yang nakal. Atas informasinya, wajib pajak tidak akan mendapat sanksi, baik pidana maupun denda.

Peran UU Pajak sebagai upaya Pemberantasan korupsi dalam bidang  Pajak

Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), UU KUP, setiap orang pribadi yang tinggal di Indonesia adalah subjek pajak (orang pribadi) dalam negeri. Seorang subjek pajak dalam negeri akan menjadi wajib pajak apabila memperoleh penghasilan melebihi penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (1) Undang-undang PPh.
Sebagai wajib pajak, seseorang punya hak dan kewajiban. Saat seseorang sudah memenuhi syarat sebagai wajib pajak, maka wajib pajak mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Apabila tidak mendaftarkan diri, UU KUP memberi sanksi yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1). Ketentuan itu mengatur wajib pajak melanggar kewajiban perpajakannya, antara lain : tidak mendaftarkan diri; tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT); menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar; dan menolak dilakukan pemeriksaan; dsb.
Jika wajib pajak melanggar kewajibannya dan hal itu menimbulkan kerugian negara, maka yang bersangkutan akan dipidana paling lama 6 tahun penjara dan denda paling tinggi 4 kali jumlah pajak yang terutang.
Dalam hal seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, statusnya sudah ditingkatkan menjadi tersangka, pada tahapan inilah Ditjen Pajak dapat mulai melakukan penelitian dan pengumpulan data yang menyangkut orang tersebut.
Langkah-langkah untuk menjerat tersangka korupsi dari sudut pandang pidana fiskal, perlu koordinasi dengan instansi lain yang menangani masalah ini, seperti misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kejaksaan Agung.
Tujuan dari langkah Ditjen Pajak ikut menangani hal ini adalah semata-mata untuk mengamankan penerimaan negara dari pajak dan untuk memberikan bahan tambahan kepada penyidik, sehingga tersangka pelaku didakwa dengan dakwaan berlapis, yaitu melakukan tindak pidana fiskal sebagaimana diatur dalam Pasal 39 UU KUP.
Hal ini merupakan langkah untuk mengantisipasi seandainya pengadilan memberi putusan bebas kepada terdakwa. Keputusan ini mungkin saja benar dan dalam hal demikian masih ada satu dakwaan lagi berupa tindak pidana fiskal yang kemungkinan besar tidak akan lolos.
Untuk mencapai tujuan itu, perlu ditempuh langkah persiapan, yang salah satunya adalah menjajaki kemungkinan ini dengan instansi terkait, yang menangani masalah korupsi. Ini tidak mudah karena masuknya Ditjen Pajak dapat dianggap merecoki kerjanya. Untuk itu, perlu pendekatan tingkat atas agar tujuan dapat dicapai.
Langkah selanjutnya adalah pengumpulan data dalam kasus tindak pidana fiskal. Sumber data itu diperoleh dari beberapa sumber data antara lain dari berkas yang disusun oleh penyidik dalam menyiapkan bukti-bukti. Hal ini bisa terkendala karena penyidik tidak bersedia membagi informasinya.
Tidak berlebihan apabila tuntutan tindak pidana fiskal erat berhubungan dengan perundangan di bidang perpajakan. Oleh karena itu, perlu dipersiapkan penuntut umum yang menguasai perundang-undangan tersebut, misalnya dengan memberikan pelatihan kepada para penuntu umum dan para hakim.
Dari sisi Ditjen Pajak, perlu dibentuk tim khusus menangani kasus-kasus korupsi. Seperti diketahui Ditjen Pajak telah lama menyiapkan tenaga-tenaga penyidik sehingga pembentukan tim ini tidak akan menjadi masalah.

KASUS HIBAH TANAH MENURUT HUKUM ISLAM

“KASUS POSISI”


            H. MUHTAR memiliki sebidang tanah seluas 450 m2 dengan sebuah toko diatasnya.  Tanah tersebut berada di Jalan Siliwangi No. 50 Cicurug Kabupaten Cibadak.  Dalam keadaan sakit (lumpuh) beberapa waktu sebelum meninggal th 1992, Muhtar menghibahkan tanah berikut toko ituy kepada Endang Suarna dan Saudara-saudaranya.  Penghibahan yang dicatat dalam sebuah surat itu disaksikan oleh M. Sya'rawi Baesusi dan Istri Endang Suarna.
            Surat hibah itu ditandatangani oleh H. Muhtar, Endang dan saksi Sya'rawi.  Meskipun mempunyai 10 orang anak kandung; Muhtar tidak memberitahukan penghibahan toko itu kepada anak-anaknya maupun ahliwaris lainnya.  Sehingga setelah Muhtar meninggal, tanah dan toko yang telah dihibahkan pada Endang Suarna tetapi dikuasai anak-anak kandung Muhtar.  Endang bersama Endah, Entang dan Hadijah (Penerima Hibah) dari Muhtar berkali-kali meminta agar anak-anak Muhtar menyerahkan tanah dan toko itu.  Tapi berkali-kali pula anak-anak Muhtar menolak. Akhirnya kesabaran Endang CS habis.  Digugatnya Endang Sutisna, Cucu Suwarni, Usman Efendi, Anwar, Lili Suhaeli, Dedi Haryadi, Nani Haryati, Lili Nurhayati, Yuyun Yuswandi dan Aep Saefullah di Pengadilan Agama Cibadak.

Dalam Surat gugatannya Endang Suarna, Entah, Entang dan Hodijah meminta agar Pengadilan:
1.      Mengabulkan gugatan Penggugat;
2.      Menetapkan sah hibahnya H. Muhtar bin Agus;
3.      Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah berikut bangunannya dan surat-surat yang berkaitan dengannya pada Penggugat-Penggugat;
4.      Memerintahkan Tergugat untuk mengosongkan bangunan tersebut setelah putusan itu mempunyai kekuatan hukum yang pasti (tetap).
5.      dst ............... dst .................. dst.

PENGADILAN AGAMA

Hakim Pertama yang mengadili perkara ini dalam putusannya memberikan pertimbangan sebagai berikut:
 - Penggugat mengakui telah menerima penyerahan tanah berikut bangunannya berupa sebuah toko seluas 450 m2 persil 55 Klas DI. letter C No. 681 di Jalan Siliwangi Cicurug No. 50, dari almarhum Muhtar.  Tergugat menolak adanya hibah tersebut, karena Muhtar tidak pernah memberitahukannya kepada Tergugat.  Tergugat menyatakan penghibahan tanah itu tidak sah, karena tanpa persetujuan anak-anaknya Muhtar (tergugat). 
            Keberatan Tergugat mengenai tidak terdapatnya kalimat "Menghibahkan dalam pernyataan hibah, tidak bisa diterima.  Walaupun ucapan (Shigot) hibah termasuk rukun hibah yang ketiga, tetapi yang dimaksud shigot (ucapan) hibah oleh para Ulama Fiqh adalah segala sesuatu yang menunjuk pada kepemilikan, baik dengan ucapan maupun pekerjaan.
            Hibah dalam gugatan Penggugat, menurut Majelis, adalah hibah mutlak bukan hibah wasiat.  Juga karena barang yang dihibahkan adalah milik Muhtar, maka Muhtar dapat secara bebas menghibahkan miliknya sendiri, berapapun jumlahnya, dan kepada siapapun diberikan, tidak perlu ada persetujuan dari ahli waris (anak-anak/Tergugat).  Majelis menilai tepat ketiga Muhtar melarang saksi memanggil anak-anaknya, agar ikut menyaksikan perbuatan hibah oleh Muhtar tersebut.
            Menurut keterangan saksi, walaupun Muhtar dalam keadaan lumpuh, tetapi belum sampai pada keadaan yang sangat parah, sehingga penyerahan hibah adalah sah secara hukum.  Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur ulama dalam kitab Bidayatul Mu'jtahid Jiz II, hal 327 yang artinya: "Adapun sakit yang menghalangi untuk (mengadakan hibah) menurut Jumhur adalah sakit yang paling ditakuti (sakit yang menyebabkan kematian)".
            Oleh karena penyakit Muhtar saat itu tidak terlalu parah, maka Majelis berpendapat bahwa persetujuan ahli waris atau terjadinya hibah itu, tidak diperlukan sebagai argumen Contrario (Mafhum Mukhalafah) dari pasal 213 Kompilasi Hukum Islam.
            Meskipun yang ikut menandatangani Surat Hibah hanya satu orang saksi karena yang lain adalah isteri Penggugat.  Kurangnya seorang saksi hibah, telah terpenuhi oleh saksi lain, meski tidak menandatangani surat hibah, tapi dia menyaksikan terjadinya serah terima hibah tersebut.
            Walaupun Tergugat menolak/tidak mengakui tanda tangan Muhtar dalam surat Hibah dengan menyatakan tanda tangan itu bukan tanda tangan Muhtar.  Tapi penolakan tersebut tidak diterima, karena tergugat tidak mengajukan bukti lawan terhadap tanda tangan Muhtar yang ada dalam surat hibah tersebut.
            Berdasarkan kronologi terjadinya hibah yang diikrarkan langsung oleh Muhtar kepada Penggugat tersebut, telah memenuhi syarat dan Rukun Hibah seperti diatur dalam Hukum Islam, karenanya harus disyahkan.  Sebaliknya bantahan Tergugat adalah tidak didukung oleh alat bukti tertulis dan sebagian besar bantahan Tergugat dilemahkan oleh kesaksian saksi yang diajukan Penggugat, maka bantahannya harus ditolak.
            Tindakan Tergugat yang tidak mau menyerahkan objek sengketa, meskipun surat pernyataan Nikah dianggap sah, merupakan tindakan dengan itikad tidak baik (terkwadertraw).
 Atas dasar pertimbangan tersebut Majelis Hakim mengadili sebagai berikut:
1.      Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2.      Menetapkan sah hibahnya H. Muhtar bin Agus kepada Para Penggugat atas sebidang tanah seluas 450 m2 persil 55 Kls D I No. C 681 Sertifikat No. 218 di Jalan Siliwangi No. 50 Cicurug.
3.      Menghukum Tergugat untuk menyerahkan tanah dan bangunan dalam diktum no. 2 berikut surat yang berkaitan pada Para Penggugat.
4.      dst .......... dst ............... dst ................

PENGADILAN TINGGI AGAMA
            Para Tergugat menyatakan banding terhadap putusan Hakim Pertama tsb di atas.  Selanjutnya Hakim Banding setelah memeriksa perkara gugatan tersebut dalam putusannya memberikan pertimbangan bahwa alasan Juridis dan putusan Hakim Pertama dinilai sudah benar dan tepat, sehingga Putusan Pengadilan Agama Cibadak No. 394/Pts-6/1992/PA-Cbd. tgl 24/11/1992 harus dikuatkan.

MAHKAMAH AGUNG RI
            Tergugat I, Endang Sutisna, menolak putusan Hakim banding tersebut dan mengajukan kasasi dengan keberatan yang pada pokoknya sebagai berikut: 
      - Bahwa Judex Facti telah menyalahi Hukum Hibah yaitu:
a) Hibah tersebut melebihi 1/3 dari seluruh harta pemberi hibah (periksa pasal 210 Kompilasi Hukum Islam)
b) Hibah tersebut dilakukan tanpa persetujuan ahli warisnya H. Muhtar si pemberi hibah.

- Bahwa pemberian hibah oleh H. Muhtar tersebut adalah merupakan Hibah Wasiat, karena pada kenyataannya sipenerima hibah (para Penggugat asal/Termohon Kasasi) baru mengungkap adanya hibah tersebut setelah H. Mochtar meninggal.
- Bahwa pelaksanaan Hibah tersebut, Juridis tidak memenuhi syarat, karena tidak sesuai dengan
- Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 28 April 1976 No. 1055 K/Sip/1975
- Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1135/K/Sip/1978.
            Majelis Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini dalam tingkat kasasi dalam putusannya memberikan pertimbangan bahwa putusan Judex Facti dinilai tidak salah dalam menerapkan hukum terhadap perkara gugatan perkara hibah tersebut.
   Disamping itu, keberatan lainnya, tidak dapat diterima, karena berkenaan dengan penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan yang tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud pasal 30 UUMA (UU No. 14 Tahun 1985).

Dengan pertimbangan tersebut diatas, akhirnya Mahkamah Agung R.I. memberikan putusan sebagai berikut:

 MENGADILI:
- Menolak permohonan Kasasi dari Pemohon Kasasi H. Endang Sutisna bin H. Muhtar.
- Menghukum Pemohon Kasasi membayar biaya perkara .... dst ..... dst.

Penerapan Tujuan Negara Dalam Berbagai Aspek Kehidupan

Dalam Ilmu Negara, tujuan Negara dirumuskan dengan mempertimbangkan tempat, keadaan, waktu, serta sifat dari kekuasaan atau pemerintahan yang berkuasa secara sah. Pada zaman raja-raja kuno, tujuan Negara terletak pada penyelengaraan kekuasaan yang semata-mata demi memperkuat kekuasaan itu sendiri. Berlaku motto secara internal, “ kekuasaan adalah kebenaran ”, disertai keinginan bersama tujuan Negara. Lantas berkembang dalam bangsa yang lebih modern, banyak Negara bertujuan mengoper tanggung jawab membangun kemajuan masyarakat seperti bidang pendidikan, ekonomi, keadilan social, dan sebagainya. Diantara mereka menerapkan peran besar Negara dalam segala hal berserta orientasi yang masih demi kepentingan kelompok penguasa.
Di Indonesia, motto “ kekuasaan dalam kebenaran ” tidak dijaidkan tujuan Negara Indonesia. Tujuan nasional Negara Republik Indonesia, seperti dinyatakan dalm pembukaan undang-undang dasar 1945, ialah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.

Bahwa setiap bangsa di seluruh dunia pasti mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Begitu pula dengan Negara kita. Bangsa Indonesia sadar bahwa bukan merupakan tujuan akhir, tetapi itu adalah titik tolak menuju Negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur. Tujuan Negara Indonesia terdapat dalam Undang-undng Dasar 1945 alinea ke-4. meskipun dalm proses reformai hukum dewasa ini Undang-undang Dasar 1945telah diamandemen sebanyak 4 kali tapi proses amandemen tersebut tidak pernah sekalipun menyentuh penbukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berisi tujuan Negara kita. Hal ini dikarenakan tujuan nasional merupakan cita-cita luhur bangsa Indonesia yang merupakan aspirasi seluruh rakyat Indonesia yang ingin diwujudkan sejak zaman penjajahan. Tujuan nasional Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting bagi bangsa kita, antara lain memberikan gairah hidup dan menjiwai kehidupan bangsa serta menjadi pedoman hudup bangsa.

Perumusan tujuan nasional bangsa Indonesia dinnyatakan dalam pembukaan UUD1945, yaitu :
  1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.
  2. Diwujukan dengan dibentuknya angkatan bersenjata seperti TNI, POLRI, ABRI. Disamping itu, perlu diperhatikan pula pasal 30 UUD 1945 yang berbunyi “ tiap-tiap WNI berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan Negara ”. megigat bahwa WNI mempunyai hak dan kewajjiban dalam usaha pembelaan Negara, maka harus sewajarnya rakyat dan seluruh potensi nasional harus dikerahkan demi melindungi bangsa.
  3. Memajukan kesejahteraan umum. Diwujudkan dengan pemerataan pendapatan nasional bangsa Indonesia.
  4. Mencerdaskan kehidupan berbangsa. Dengan mencantumkan anggaran untuk pendidikan dalam APBN.
  5. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social.
  6. Pemerintah telah turut serta dalam perdamaian dunia seperti pengiriman pasukan Indonesia didaerah konflik diluar Indonesia, dan telah bergabung dengan organisasi internasional.


Untuk mewujukan tujuan nasional tersebut bangsa Indonesia melaksanakan penbangunan secara terencana dn bertahap. Pembangunan jangka panjang pertama sampai dengan pertengahan tahun 1997. namun dewasa ini bangsa Indonesia megalami krisis yang berat, yang dimulai dari krisis ekonomi kemudian berkembang meliputi seluruh aspek kehidupan politik, ekonomi, dan social. Situasi ini mengharuskan bangsa Indonesia untuk menkaji ulang ketetapan dan langkah-langkan pembangunan nasional selama ini. Dalam kerangka itu dibuatlah pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional yang berfungsi sebagai haluan Negara, yang dilaksanakan oleh presiden/mandatari MPR. Selain itu pokok-pokok reformasi tersebut menjadi pedoman penyelengaraan Negara dalam melaksanakan pembaharuan yang menyeluruh dan memulihkan kehidupan nasional.

Di bidang ekonomi keberhasilan yang telah dicapai selama tiga puluh tahun Oarde Baru telah mengalami kemosrotan yang memprihantinkan, karena krisis moneter pertengahan tahun 1997, dan telah berlanjut menjadi krisis ekonomi yang lebih luas. Landasan ekonomi yang dianggap kuat, ternyata tidak berdaya menghadapi gejolak keuangan eksternal serta kesulitan-kesulitan makro dan mikro ekonomi.

Munculnya konglomerasi dan sekelopok pengusaha yang kuat tidak didukung oleh semangat kewirausahaan sejati, mengakibatkan ketahanan ekonomi menjadi sangat rapuh dan tidak kompetitif. Sebagai akibat krisis moneter yang melanda Indonesaia, tidak dapat diatasi dengan baik sehingga memerlukan kerja untuk bangkit kembali.

Rentanya ekonomi Indonesia dipicu oleh jatuhnya nilai tukar rupiah sampai tingkat yang terendah. Pemerintah tidak mengambil langkah yang konkrit dan jelas untuk mengatasi kurs tersebut. pembangunan industri tidak berbasis kepada masyarakat atau potensi unggulan daerah, tidak ada keterkaitan antara industri besar, menengah dn kecil yang serasi, serta juga stuktur industri yang lemah dlam industri hulu dan hili. Disamping itu sebagian bersar lahan pertanian yang subur telah berubah fungsi menjadi lahan industri sehingga dari kodisi semula swasembada beras telah berubah.

Dibidang tatanan kehidupan politik yang dibangun selama tiga tahun telah manghasilkan stabilitas politik dn keamanan. Namun demikian, pengaruh budaya masyarakat yang sangat kental corak parternalistik dan kultur neofeodalistiknya mengakibatkan prosespartisipasi dan budaya politik nasional tidak berjalan sebagainama mestinya.
Kekuasaan eksekutif yang terpusat dan tertutup dibawah lembaga kepresidenan mengakibatkan krisis structural dan sistemik sehinggan tidak mendukungnya berkembangnya fungsi berbagai lembaga kenegaraan, politik dan social secara proporsional dan optimal. Terjadinya pratek-praktek KKN, dimasa lalu adalah salah satu akibat dari keterpusatan dan keterbukaan kekuasaan.Mekanisme hubungan pusat dan daerah cenderung menganut sentralisasi kekuasaan dan pengambilan keputusan yang kurang sesuai dengan kodisi geigrafis dan demografis, keadaan ini menghambat penciptaan keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggu jawab. Pengembangan sumberdaya manusia dan sikap mental serta kadirisasi pemimpin bangsa tidak berjalan sebagaimana mestinya. Pola sentralisasi dan neofeodalistik mendorang mengalirnya sumberdaya menusia yang berkualitas ke pusat sehingga kurang memberi kesempatan pengembangan sumberdaya manusia di daerah. Akibatnya terjadi kaderisasi dan corak kepemimpinan yang kurang memperhatikan aspek akseptabilitas dan legitimasi.

Selama tiga puluh dua tahun pemerintahan Orde Baru, pembangunan hukum khususnya yang menyangkut peraturan perundang-undangan organic tentang pembatasan kekuasaan presiden belum memadai. Kondisi ini memberi peluang terjadinya prektek-praktek KKN, serta memuncak pada penyimpangan berupa penafriran yang sesuai dengan selera penguasa. Telah terjadi penyalah gunaan wewenang, pelecehan hukum, pengabaian rasa keadilan, kurangnya perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat, sehingga menempatkan rakyat pada posisi yang lemah. Jati diri bangsa yang disiplin, jujur, beretos kerja yang tinggi serta berakhlak mulia belum dapat diwujudkan bahkan cenderung menurun.

Selain itu tujuan Negara adalah suatu Negara hukum yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu mesyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, sehingga Indonesia menganut ajaran Negara hukum dan Negara kesejahteraan.
Tujuan Negara menurut ajaran Negara hukum adalah menyelengarakan ketertiban hkum dengan berdasarkan dan berpedoman pada hukum. Dalam Negara hukum segala kekuasaan dari alat-alat pemerintahannya sendiri menurut keinginan sendiri sehingga melawan hukum. Dalam Negara hukum hak-hak rakyat dijamin sepenuhnya oleh Negara. Dan sebaliknya rakyat berkewajiban pula untuk mematuhi peraturan yang dikelurkan oleh pemerintah.

Menurut teori Negara kesejahteraan ( Welfare State ), tujuan Negara ini ialah mewujudkan kesejahteraan umum. Dalam hal ini Negara dipandang sebagai alat belaka yang dibentuk manusia untuk mencapai tujuan bersama.





Kamis, 24 Februari 2011

SURAT-SURAT BERHARGA

SURAT-SURAT BERHARGA

A. WESEL
Kata wesel berasal dari bahasa Belanda “ wissel ” ( wisselen dalam bahasa Belanda, bahasa Inggris “ Exchange ” atau “ wechselen ”dalam bahasa Jerman yang berati alat tukar-menukar, yang kini ditukarkan ialah uang.
Wesel diatur dalam KUHD Buku ke-I bab VI dari pasal 100 sampai dengan pasal 177. Undang-undang tidak memberi definisi tentang wesel tetapi hanya menyebutkan syarat-syarat wesel yang disebutkan dalam pasal 100 KUHD. Pada umumnya orang sependapat bahwa wesel itu ialah suatu perintah pembayaran yang diberikan oleh penarikan kepada orang yang tarikan, yang harus membayar melakukan pembayaran itu kepada pemegang wesel.
Syarat-syarat surat wesel Bentuk dan isi dari surat wesel secara mutlak disebutkan dalam pasal 100 KUHD, yaitu :
a Pada perumusan dalam surat wesel harus terdapat perkataan “ surat wesel ” dalam bahasa yang dipakai untuk merumuskan wesel;
b Surat wesel harus berisi suruhan-tak-bersyarat untuk membayar uang tertentu;
c Nama orang yang harus membayar ( betrokkene, drawee, tertarik );
d Penetapan hari pembayaran;
e Penunjukan tempet pembayaran;
f Nama orang, kepada siapa atau yang ditunjuk ( order ) wesel itu harus dibayar;
g Tempat dan tanggal penarikan wesel;
h Tanda-tangan orang yang menarik wesel ( trekker, drawer, penarik ).
Macam-macam wesel :
1. Wesel berdomisili
Wesel berdomisili adalah suatu wesel yang tempat pembayarannya ditentukan lain daripada berkepentingan sendiri.
2. Wesel rekta
Wesel rekts adalah suatu wesel yang dapat dibayarkan kepada seseorang yang tertentu, yang disebutkan namanya pada wesel itu dan yang memakai syarat ( clausele ) “ tidak kepada wakil ( kuasa, order )nya ”
3. Wesel pad wakil ( kuasa,order ) sendiri
Adalah wesel, dimana pada mulanya penarik dan pemengan adalah satu orang saja, dan yang nanti dapat diserahkan kepada orang lain.
4. Wesel tidak diprotes
Yaitu suatu wesel yang memakai tanda “ tidak diprotes ” dan yang bermaksud : apabila pemegang yang terakhir mendapat pernyataan dari yang berkepentingan, bahwa ia tidak mau membayar ( karena suatu sebab ), maka pemegang itu tidak perlu membuat suatu nota protes lebih dahulu supaya dapat melakukan hak regresnya, tetapi ia terus dapat berhubungan dengan endosan yang mendahuluinya atau langsung kepada penarik sendiri.
5. Wesel retour ( wesel balasan, wesel ulangan )
Yaitu wesel yang dibuat oleh pemegang akhir yang melakukan hak regresnya : pemegang tadinya menjadi penarik, dan penarik tadinya menjadi yang berkepentingan.
6. Wesel jaminan
Wesel jaminan yaitu suatu wesel yang dipergunakan sebagi jaminan dalam hubungan ini endosemen jaminan.
7. Wesel berdokumen
Ialah dimana dokumen-dokumen untuk mendapakan barang seperi konosemen, ceel ( sedul ), faktur dan sebagainya baru dapat diterima apabila si pembeli telah mengakseptasi wesel itu.
8. Wesel pos
Yaitu semacam wesel yang lazim dipergunakan untuk pengiriman-pengiriman uang melalui pos. Di kantor pos penyetor memberikan perintah kepada kantor pos pembayaran ( yang berkepentingan ) membayarkan sejumlah uang kepada si alamat ( pemegang ).
9. Lembaran wesel
Adakalanya wesel itu dibuat beberapa lembar untuk menjaga, bila misalnya satu hilang supaya ada gantinya.
10. Wesel lunas
Wesel yang sudah dibayar oleh yang berkepentingan, dibubuhi tanda “ lunas ” dan ditanda tangani oleh berkepentingan itu.

B. CEK
Cek adalah suatu surat yang membuat suruhan pembayaran sejumlah uang kepada seorang dalam waktu tertentu, suruhan itu umumnya ditujukan kepada sesuatu Bank yang memberikan buku cek kepada yang orang yang memedatanggai cek itu.
Menurut KUHD pasal 178 cek memuat :
1. Nama cek ,
2. Suruhan pembayaran sejumlah uang dengan tidak bersyarat,
3. Nama yang harus membayar,
4. Tempat dan tanggal pembuatan cek,
5. Tanda tanggan dan nama yang membuat cek.
Buku cek buku cek diberikan oleh Bank kepada seseorang yang mempunyai simpanan uang pada Bank tersebut,memuat kira-kira 100 lembar cek yang diberi nomor berurutan, tiap lembar terbagi dua bagian yang terkecil sebelah kiri dan bagian yang terbesar sebelah kanan. Pada cek tertuliskan :
1. Jumlah uang yang harus dibayar,
2. Penarik ( yang menandatangani cek ),
3. Kepada siapa harus dibayar atau nama yang haarus menerima pembayaran,
4. Tempat dan tanggal,
5. Tanda tangan sendiri dengan namanya.
Macam-macam cek :
1. Cek atas nama
Yaitu suatu cek, dimana tertulis nama pemengang yang tertentu, atau wakilnya.
2. Cek kepada pembawa
Yaitu suatu cek, dimana tertulis pemegang, tetapi yang akan dibayarkan kepada siapa yang menunjukanya.
3. Cek akte ( recta cheque )
Yaitu yang memakai nama “… tidak pada wakil ( kuasa, order )nya ”. cek semacam ini tidak dapat diserahkan kenpada orang lain.
4. Cek bergaris ( crossed cheque )
Yaitu suatu cek dimana terdapat dua buah garis lurus sejajar pada cek itu. Ini dapat dibagi menjadi dua :
Cek bergaris umum : di antara dua buah garis lurus sejajar itu tidak tertulis apa-apa, atau perkataan “ Bank ”.
Cek bergaris istimewa : dimana diantara dua buah garis lurus sejajar itu ditukiskan nama sesuatu Bank tertentu.
5. Cek incasso
Yaitu yang dimaksudkan untuk incasso saja oleh pemegang, yang nanti akan dipertanggung jawabkannya kepada yang berhak.
Kebaikan pengunaan cek :
1. Lebih aman dari pada mempergunakan uang tunai,
2. Penghematan waktu,
3. Uang yang disipan di Bank, uang simpanan itu mungkin pula memberikan bunga.

C. CEEL ( CEDUL )
Yaitu suatu surat simpana, suatu surat dimana yang menyimpan, biasanya suatu perusahaan pergudangan, menyimpan sejumlah barang sejak tanggal sekian akan diberikan kepada orang yang bersangkutan menunjukan surat ceel ini.
Ceel memuat :
1. Tanggal mulai penyimpanan;
2. Keterangan mengenai barang yang disimpan antara lain jumlah, berat, jenis, macam, dan sebagainya;
3. Nama yang mempunyai barang kepada siapa barang-barang akan diberikan;
4. Keterangan serta syarat lainya yang dianggap perlu.
Hak atas surat ceel ini berate hak atas barang yang akan diterima dari pergudangan dengan surat ini. Itulah sebabnya ceel dapat diperjual-belikan. Menjual surat ceel ini berarti menjual hak atas barang karena itu termasuk suratsurat berharga dalam dunia dagang , yang dapat diperjual-belikan.

D. PROMES AKSEP
Promes atau aksep suatu surat yang memuat janji pembayaran sejumlah uang tertentu kepada orang tertentu atau wakilnya di tempat dan waktu tertentu pula.
Menurut UU pasal 174 KUHD surat promes memuat :
1. Nama promes, atau aksep atau orderbriefje;
2. Janji yang tidak bersyarat untuk memebayar sejumlah uang;
3. Penetapan hari pembayaran;
4. Tempat, dimana pembayaran harus dilakukan;
5. Nama seseorang kepada siapa, atau kepada wakil pembayaran harus dilakukan;
6. Nama tempat serta tanggal pembuatan promes;
7. Tanda tangan pembuat promes.
Persamaan dan perbedaan dengan wesel
1. Persamaan :
a Keduanya termasuk surat berharga dalam dunia barang;
b Keduanya memuat nama, tempat, tanggal penarikan dan pembayaran;
c Pada umumnya peraturan-peraturan yang berlaku bagi wesel berlaku pula bagi promes.
2. Perbedaan :
a Penarikan dan yang berkepentinggan pada wesel berlainan; pada promes yang membuat promes dan yang harus membayar adalah satu orang saja.
b Pada promes kita tidak mengenal akseptasi, dan juga tidak mengenal ada protes non akseptasi.
Hari pembayaran promes :
1. Ketika diperlihatkan ( at sight );
2. Sekalian waktu setelah diperlihatkan;
3. Pada tanggal sekian;
4. Sekian waktu setelah promes ini dibuat.
Menurut UU pasal 176 KUHD, peraturan wesel berlaku juga yakni mempunyai:
1. Endosemen;
2. Hari pembayaran;
3. Pembayaran;
4. Hak regres, protes-non bayar;
5. Pembayaran dengan perantara;
6. Domisili pembayaran;
7. Aval; dll.

E. OBLIGASI
Adalah suatu surat tanda utang. Badan atau perusahaan yang mengeluarkan obligasi itu, mempunyai hutang kepada pemilik surat obligasi itu. Surat obligasi ini juga suatu surat tanda pinjaman. Oleh karena ada yang meminjam., maka ada yang berutang. Jadi dapat juga dikatakan surat tanda utang.
Sifat yang menandakan serta menbedakan obligasi dari sero ialah adanya bunga tertentu. Sero tidak ada bunga tertentu, melainkan devidentnya tergntung bersarnya keuntungan perusahaan.
Juga surat obligasi dapat diperjual-belikan. Harganya tergantung dari pada penghargaan terhadap jumlah uang yang akan diterima nanti pada waktu yang ditentukan.

F. ENDOSEMEN
Endosemen berasal dari bahasa Perancis dan berarti pernyataan yang ditulis di bagian punggung atau belakang dari suatu surat. Adalah suatu penyerahan surat-tunjuk ( order-papier ) oleh seorang-berhak memegang kepada orang lain, dengan disertai peryataan mengalihkan haknya atas surat itu, ditulis pada surat itu juga.
Cara endosemen :
Menurut pasal 112 KUHD bagi wesel dan aksep dan bagi cek-tunjuk, endosemen harus ditulis pada tubuh surat wesel, aksep, atau cek, atau pada kertas yang digandengkan pada surat-surat itu. Surat sambungan ini dinamakan “ verlengstuk ” , dan endosemen harus ditanda tangani.
Menurut pasal 112 ayat 2 dan pasal 193 ayat 2 KUHD diperolahkan tanpa menyebutkan nama si A selaku “ geendosseerde ” atau yang mendapat penyerahan ini berarti, diperbolehkan endosemen serta menulis tempat, tanggal, dan tanda tangan si penyerah.

G. HAK REGRES
Bahwa dlam hal wesel dan cek sipenarik dan para eddosemen berkewajiban menanggung kepada si pemegang dalam hal wesel si tertarik akan menyutujui dan membayar, dan dalam hal cek sitertarik akan membayar.
Syarat untuk melakukan regres
Syarat utama ialah bahwa si pemegang wesel, aksep atau cek harus mengadakan protes penolakan membayar atau dalam hal wesel yang tidak disetujui, harus mengadakan protes penolakan akseptasi. Protes ini harus dilakukan pada waktunya dalam arti tidak boleh terlambat.
Bagi wesel hal ini ditentukan dalam pasal 152 KUHD yang tenggang ini menunjuk pada pasal 133, pasal 143, dan pasal 145 KUHD, yang mengenai tenggang-tengang untuk minta akseptasi atau untuk minta pembayaran, sedang tetang cek hal ini ditentukan dalam pasal 218 KUHD yang menunjukan pada tenggang 70 hari setelah penandatanganan cek.

H. KONOSEMEN
Sesuai dengan UU pasal 504 KUHD konosemen adalah surat di mana pengangkutmenerangkan, bahwa ia telah menerima sejumlah barang tertentu, untuk megangkutnya kesuatu tempat tertentu atau kepada seseorang tertentu atau kepada wakilnya, segala sesuatau dengan syarat-syarat serta ongkos tertentu pula.
Konosemen rekta :
Konosemen yang memakai syarat “ kepada ” dan tidak kepada wakilnya. Jadi barang hanya dapat diserahkan kepada orang tertentu itu dan tidak untuk orang lain ( wakilnya ).
Syarat kosemen rekta yang pertama mengenai harga ( ongkos ) untuk mengangkut barang itu. Seriang juga dibuat syarat-syarat mengenai pertanggungjawaban risiko yang mungkin diderita selama perjalanan di laut.

KEPAILITAN ( FAILISEMENT VERORDENING )

KEPAILITAN ( FAILISEMENT VERORDENING )

1. Kepailitan ( UU no. 37 tahun 2004 ) :
Adalah sita umum atas semua barang debitor pailit yang pengurusannya dan pemberesanya dilakukan oleh korutor dibawah hakim pengawas. Dengan maksud untuk mencegah sitaan dan eksekusi oleh seorang kreditur atau lebih secara perseorangan atau untuk menghentikan sitaan atau eksekusi termasud.
2. Tujuan Kepailitan :
Supaya dengan jalan demikian hasil penjualan harta pailit dapat secara adil menurut perbandingan besar kecilnya piutang para kreditor dengan mengigat akan para pemegang hak istimewa, gadai dan hak tanggung dan fidusia.
3. Pengajuan Kepailitan Oleh :
a. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak mampu membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo.
b. Kejaksaan untuk kepentingan umum.
c. Dalam hal debitor adalah bank permohonan pailit dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
d. Dalam hal debitor adalah efek, bursa efek, lembaga klilring dan penjamin, lembaga penyimpan dan penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh badan pengawas pasar modal.
e. Dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension atau BUMN, permohonan hanya dapat diajukan pleh menteri keuangan.
4. Syarat Kepailitan :
a. Debitor tersebut mempunyai dua atau lebih kreditor,
b. Debitor tersebut tdak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat di tagih.
5. Akibat Kepailitan :
Kepailitan meliputi seluruh harta debitor pada saat pernyataan pailit diucapkan serta segala yang diperoleh selama kepailitan.
6. Yang Dapat Di Nyatakan Pailit :
Orang perorangan, Perserikatan-perserikatan tidak berbadan hokum lainya, Perseroan-perseroan maupun koperasi dan yayasan yang berbadan hokum, Harta Peningalan.

7. Hibah Sebelum Kepailitan :
Hibah dapat di batalkan sepanjang merugikan harta kepailitan .
8. Perikatan selama Kepailitan :
a. Selama perikatan tersebut menguntungkan.
b. Apabila perikatan tersebut merugikan sepernuhnya ditangung oelh debitor secara pribadi atau perikatan tersebut dapat dimintakan pembatalan.
9. Pengaruh Perikatan Terhadap Eksekusi Lain :
a. Menghentikan eksekusi atau sitaan secara pereorangan, perikatan sebelum perikatan.
b. Kurator mengambil alih perikatan yang belum selesai.
10. Perdamaian Dapat Di Terima Apabila :
a. Ada persetujuan setengah dari kreditor konkuren yang mewakili dua pertiga bagian seluruh tagihan debitor konkuren.
b. Persetujuan setengah jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, yang mewakili dua pertiga seluruh jumlah tagihan.

PENUNDAAN PEMBAYARAN UTANG
Diajukan oleh debito yang mempunyai lebih dari satu kreditor, yaitu debitor tidak atau memperkirakan tidak dapat membayar utangnya yang sudah jatuh tempo.Dalam pelunasan hutang Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan pembayaran utang-utang yang sudah waktu dan dapat ditagih. Permohonan penundaan pembayaran uatng sebagaimana dimaksud harus diajukan oeleh dibitor kepada pengadilan dengan ditangdatangani olehnya dan oleh penasehat hokum berserta surat bukti yang selayaknnya. Pada surat permohonan tersebut diatas dapat dilampirkan rencana damai. Kemudian pengadilan akan segera mengabulkan penundaaan sementara kewajiban pembayaran utang dan menujuk seorang hakim Pengawas dari Hakim Pengadilan serta mengangkat satu atau lebih pebgurus yang bersama debitor mengurus harta debitor.
Setelah penundaan kewajiban pembayaran utang dapat diakhri baik atas permintaan Hakim Pengawas atau Permohonan pengurus atau satu atau lebih kreditor, atau atas prakarsa pengadilan sendiri, bila :
a. Debitor selama waktu penundaaan keawajiban pembayaran utang, bertindak dengan itikad buruk dalam melakukan pengurusan terhadap hartanya,
b. Debitor mencoba merugikan para kreditor nya,
c. Debitor melakukan pelangaran ketentuan pasal 226 ayat ( 1) ,
d. Sebitor lalai dalam melaksanakan tindakan-tindakan yang keadaan oleh Pengadilan pada saat atau setelah pennundaaan pembayaran utang diberikan atau lalai melaksanakan tindakan-tindakan yang disyaratkan oleh para pengurus demi kepentinjgan harta debitor,
e. Selama waktu penunudaan kewajiban pembayaran uatang keadaan harta debitor tidak lagi dimungkinkan dilanjutkannya penundaan kewajiban pembayaran utang,
f. Keadaanb debitor tidak ldapat diharapkan lagi unuk memenuhi kewajiban terhadap para kreditor pada waktunya.
Maka dapat segera dibuat ketetapan pencabutan penanguhan pembayaran itu memperolah kekuatan hokum yang pasti.

HUKUM PENGANGKUTAN DARAT

HUKUM PEGANGKUTAN DARAT
1. Aspek Angkutan:
Subyek pengangkutan ( kegiatan usaha angkutan orang atau barang dengan kendaraan umum dilakukan oleh : BUMN/BUMD, BUMSN, Koperasi, Perorangan,
a. Trayek :
Tetap dan teratur : dengan izin trayek,
Tidak dalam trayek : dengan izin operasi.
b. Aspek Sarana Prasarana :
Terminal ( bus, angkot )
Pengesahan : Tipe A : Dirjen Perhubungan Darat, Tipe B Pem Prov, Tipe C Pemkot / kabupaten.
Sarana pendukung. :
• Rambu II, marka Jalan,
• Alat pemberi isyarat II,.
• Alat pengendali dan pengaman pemakai jalan,
• Alat pengawas dan pengaman jalan.
2. Aspek Angkutan:
Perkeretaapian : segala sesuatu yang berkaitan dengan sarana prasarana dan fasilitas penunjang kereta api untuk penyelengaraan angkutan kereta api oleh pemerintah dan diserahkan kepada sutau badan ( PTKAI ).
Sarana Prasarana :
Stasiun.
Sarana penunjang,
1. Usaha pendukung boleh pihak luar yang berkerjasama dengan PTKAI,
2. Usaha-usaha yang merupakan diversifikasi usaha juga harus berdasarkan kerjasama dari PTKAI,
3. Pembangunan prasarana lain harus berdasarkan persetujuan kerjasama dengan PTKAI.
Dasar Hukum Pengangkutan Darat :
1. KUHD Buku I, Bab V Bagian 2 dan 3 Pasal 90 s/d 98.
2. Stb 1927 No. 262 teteng Pengangkutan Kereta Api UU No. 13 tahun 1992 tentang Perkeretaapian.
3. UUN0. 3 Tahun 1965 TTG Lalulintas dan AJR, yang diganti dengan UU No. 14 Th 1992 ttg LLAJR.
4. UU No. 6 th 1984 ttg POS.
5. UU No. 5 th 1964 ttg Telekomunikasi.

HAK-HAK NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Dalam pasal 5 UU No. 12 tahun 1995 menegaskan, system pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan atas : pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan, pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan, dan terjaminnya hak untuk berhubungan dengan keluarga dan orang tua.

Terabaikannya pemenuhan hak-hak dasar narapidana, baik yang tercantum dalam UU No. 12 tahun 1995, yang didalamnya juga mencamtumkan sepuluh prinsip pemasyarakatan, kemudian adanya beberapa hukum internasional seperti Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia. Tidak dipenuhinya secara ideal hak-hak napi ini sesungguhnya merupakan efek kesekian dari begitu kompleksnya masalah yang ada dalam lembaga pemasyarakatan.

Selama ini para narapidana telah dijejali dengan berbagai ketidak adilan dan pengingkaran hak-hak asasi mereka sebagai manusia. Bagi mereka yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, masalah-masalah seputar pemenuhan hak-hak asasi napi ini menjadi begitu penting.

Sistim kepenjaraan kita yang sebelumnya menganut berbagai perundangan warisan kolonial, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan UUD 1945, telah berangsur dirubah dan diperbaiki. Pemikiran baru mengenai fungsi hukuman penjara, dicetuskan oleh DR. Sahardjo pada tahun 1962, dan kemudian ditetapkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 27 April 1964, dan tercermin didalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995, tentang Pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan telah dihapus dan diubah dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. dimana sistem pembinaan bagi Narapidana telah berubah dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Perubahan dari “Rumah Panjara” menjadi “Lembaga Pemasyarakatan”, bukan semata-mata hanya secara fisik merubah atau mendirikan bangunannya saja, melainkan yang lebih penting menerapkan konsep pemasyarakatan. Disain fisik LP baru justru berbeda dengan konsep pemasyarakatan.

LP adalah muara dari proses peradilan. Pentahapan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa institusi yang terpisah dan independen, harus diartikan agar tercipta proses check and balance dalam pelaksanaannya. Tetapi kenyataannya proses check and balance sekarang ini tidak berjalan semestinya. Ketidak jelasan proses peradilan dan politik menyebabkan sebagian penghuni LP bukanlah mereka yang seharusnya menjalani hukuman, dan akhirnya menjadi beban LP. Pemenjaraan sebagai muara terakhir dari sistem peradilan pidana yang mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan dan akhirnya pemidanaan yang dikenal dengan integrated criminal justice system merupakan proses agar seseorang mendapatkan keadilan yang sesungguhnya, dan ini bisa terwujud ketika peraturan yang ada benar-benar dilaksanakan dengan konsisten.

Dalam pentahapan sistem peradilan pidana inilah maka lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan sampai Lembaga Pemasayarakatan merupakan empat pilar yang memungkinkan penegakan hukum dan keadilan yang menghargai hak azasi manusia bisa diwujudkan. Terkhusus lembaga pemasyarakatan dari realitas yang ada, maka bisa dikatakan cita-cita ideal yang diharapkan masih sangatlah jauh, terutama yang menyangkut pemenuhan hak dasar narapidana.